Cockatoocourse.com – Pernahkah kamu berpikir, kenapa manusia bisa mati? Pertanyaan ini sudah ada sejak zaman kuno dan sering dijawab lewat mitos dan dongeng. Di budaya Tionghoa, ada satu mitos kuno yang sangat terkenal dan berkaitan erat dengan pertanyaan ini. Namanya adalah kisah Chang’e Melayang ke Bulan.
Namun, mitos ini bukan sekadar cerita biasa. Lebih dari itu, ia punya hubungan erat dengan tradisi kumpul keluarga saat Malam Tiongciu (Mid-Autumn Festival).
Yuk, kita gali bersama! Kita akan melihat bagaimana cerita ini menjelaskan asal usul kematian dan mengapa kebersamaan keluarga begitu penting dalam budaya Tionghoa.
Mitos Chang’e: Asal Usul Kematian Manusia
Mitos Chang’e dikenal luas di kalangan rakyat Tiongkok. Cerita ini dimulai dari Yi, seorang pemanah hebat. Suatu hari, langit memiliki sepuluh matahari karena permaisuri Di Jun melahirkan semuanya. Awalnya, mereka muncul bergantian. Namun kemudian, kesepuluh matahari muncul bersamaan dan membuat bumi terbakar. Sawah mengering, sungai menguap, dan makhluk hidup hampir punah.
Karena itu, Di Jun memerintahkan Yi untuk menghukum sembilan matahari. Yi pun memanah sembilan dari mereka hingga mati. Dunia kembali sejuk dan manusia selamat.
Namun, meskipun Yi menyelamatkan bumi, Di Jun tetap marah karena anak-anaknya terbunuh. Akibatnya, Yi dan istrinya Chang’e tidak boleh kembali ke langit. Mereka harus hidup dan mati layaknya manusia biasa.
Kemudian, Yi mendapat dua bungkus obat keabadian dari Xi Wang Mu, dewi di Gunung Kun Lun. Jika diminum satu bungkus, manusia bisa hidup abadi. Jika dua bungkus, manusia bisa naik ke khayangan. Yi lalu menitipkan obat itu kepada Chang’e.
Namun, Chang’e menyimpan rasa curiga pada Yi. Ia menduga suaminya berselingkuh. Karena amarahnya, Chang’e meminum kedua bungkus obat itu sekaligus. Tanpa disadari, tubuhnya menjadi ringan dan ia mulai melayang. Akhirnya, ia sampai ke bulan dan dalam versi kuno berubah menjadi seekor katak puru. Namun, versi lain menyebut ia tetap menjadi dewi, hanya saja merasa kesepian di istana bulan.
Secara simbolis, cerita ini menyampaikan bahwa manusia sudah kehilangan kemampuan untuk hidup kembali. Setelah mati, manusia tidak bisa kembali lagi. Inilah bentuk kesadaran orang Tionghoa kuno terhadap kematian.
Ritual di Masa Lampau
Mitos Chang’e terhubung erat dengan perayaan Malam Tiongciu. Sejak zaman Kerajaan Shang (1600–1046 SM), para raja sudah memuja Dewi Bulan setiap akhir musim gugur. Tradisi ini kemudian meluas ke masyarakat biasa pada masa Dinasti Song, Ming, dan Qing.
Pada zaman Dinasti Qing (1644–1911), ritual dilakukan setelah makan malam keluarga. Sebuah altar diletakkan di halaman, di bawah sinar bulan. Di atasnya ada dupa, lilin merah, serta kue bulan dan buah-buahan bulat yang melambangkan bulan purnama.
Kepala keluarga wanita memulai ritual dengan membakar dupa, lalu bersujud tiga kali ke arah bulan. Setelah itu, anggota keluarga lainnya mengikuti secara bergantian.
Makna Filosofis dan Perubahan Tradisi
Ritual ini menyampaikan pesan penting: manusia akan mati, tapi bulan di langit tidak. Namun, dengan berkumpul bersama dan memuja Dewi Bulan, manusia mencoba meniru keabadian bulan. Kue bulan dibagi-bagikan, seolah menyimbolkan bahwa keluarga manusia bisa menjadi utuh kembali, seperti bulan purnama yang bulat sempurna.
Ucapan selamat khas Malam Tiongciu, “Ren Yue Shuang Yuan”, berarti keluarga manusia menjadi utuh dan sempurna, seperti bulan.
Seiring waktu, terutama setelah 1911, ritual religius mulai berkurang. Kini, tradisi lebih bersifat santai: kumpul keluarga, menikmati kue bulan, dan menatap bulan bersama.
Kesimpulan
Mitos Chang’e telah hidup selama ribuan tahun. Ia memberi gambaran tentang asal usul kematian dan pentingnya keluarga. Hidup dan mati memang bertentangan, namun orang Tionghoa menemukan makna dengan cara menjaga kebersamaan.
Cerita ini terus diceritakan setiap tahun agar generasi muda menghargai keluarga. Kesadaran akan kematian juga menjadi dasar ajaran Taoisme yang bertujuan mencari keabadian.
Belajar Budaya Lewat Bahasa di Cockatoo Course
Di Cockatoo Course, kami percaya bahwa belajar bahasa tak hanya soal tata bahasa atau kosakata. Lebih dari itu, kamu juga harus memahami budaya dan cerita di baliknya.
Kami menawarkan kursus bahasa Mandarin, Jepang, Korea, dan Inggris, dengan pilihan kelas online, onsite (Jabodetabek & Bandung), maupun home visit. Pengajar kami akan membantu kamu menguasai bahasa sekaligus memahami budaya setempat.
Yuk, mulai perjalanan belajarmu bersama Cockatoo Course!
(SA)
Referensi:


